Sarjana Oh Sarjana…


Catatan Oktober 2011

Hari Sabtu (23/10/2011) dilapangan SC (Sport Center) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki Malang), terlihat begitu banyak manusia yang berkumpul. Sebagian besar dari mereka memperlihatkan senyum yang merekah yang menggambarkan bahwa mereka sedang berbahagia. Mereka adalah para wisudawan UIN Maliki Malang yang didampingi oleh keluarga-keluarga mereka. Pada hari itu, UIN Malang mewisuda sekian banyak manusia yang terdiri dari program doktor, magister, dan sarjana. Sungguh lulusan yang sangat banyak. Demikian halnya akan terjadi pada perguruan tinggi lain saat melaksanakan wisuda, bahkan bisa jadi jumlahnya lebih besar. Jika diakumulasi semua wisudawan pada setiap perguruan tinggi, maka kita akan mendapatkan lulusan yang luar biasa banyak setiap tahunnya. Hari itu saya mempunyai pertanyaan penting, bagaimana nasib mereka setelah melepas status mahasiswa dan menyandang gelar sebagai sarjana. Kemana mereka akan pergi? Tentunya mereka akan menuju masyarakat yang lebih luas dengan tingkatan fenomena dan permasalahan yang lebih kompleks. Dalam lingkungan seperti itu, mereka dituntut untuk hidup mandiri, salah satunya dengan mendapatkan pekerjaan.

Ironisnya, jumlah lapangan pekerjaan di negara kita masih lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah lulusan pendidikan formal. Akibatnya, terjadilah pengangguran dari kalangan terpelajar yang biasa dikenal dengan pengangguran terdidik. Berdasarkan data statistik, Saat sekarang ini tercatat sebanyak 40 jutaan penganggur di Indonesia diisi sebagian besar angkatan kerja terdidik, di antaranya lulusan universitas (sarjana). Kecenderungan lonjakan pengangguran dari lulusan perguruan tinggi terlihat dari tahun ke tahun kian meningkat. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan tidak menjamin seseorang untuk bekerja. Orang yang telah menempuh pendidikan sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi dan mendapatkan gelar pun harus menganggur. Hal ini tidak lepas dari beberapa faktor dimana faktor tersebut berasal dari lulusan itu sendiri, lingkungan, dan yang parah adalah sistem pendidikan yang ada di negara ini. Selain itu banyak kita jumpai fenomena dimana para sarjana yang masih bekerja serabutan seperti bekerja yang dapat dilakukan tanpa adanya pendidikan hanya terlatih seprti buka warung kopi, buka rental pengetikan, para mantan mahasiswa aktivis yang mengengkram di base camp organisasinya dengan berpura-pura sibuk, istilah orang jawa “ngalor ngidul ora jelas”, tidak sedikitnya dari para lulusan perguruan tinggi yang ‘sempat’ mengeyam penndidikan jauh dari kampong halamannya mesti kembali lagi ke kampong halaman bukan karena panggilan untuk melakukan ‘sesuatu yang berarti’ di sana, tetapi hanya ‘berdiam diri saja’, malamnya bergadang bermain Facebookan, bermain gitar, kongkow- kongkow bersama teman- teman hingga larut malam dan siang harinya tidur hingga maghrib menjelang.

Beberapa hari lalu saya berdiskusi santai dengan Romo Agus Sunyoto (Ketua Lesbumi NU) di yayasan beliau yang saat ini sedang masih dalam proses konstruksi dengan sebutan “Pesantren Global” didaerah Sawojajar Malang. Menurut beliau, setelah ditarik benang sejarah, bangsa Indonesia mengalami kemunduran peradaban drastis sejak Indonesia menerapkan sistem pendidikan nasional warisan kolonial Belanda, dan parahnya itu terjadi sampai saat ini. Dulu bangsa ini memiliki sistem pendidikan yang meluluskan sarjana-sarjana tanpa gelar yang mampu menciptakan jutaan mahakarya yang diakui dunia. Sarjana-sarjana sastra yang pernah menciptakan aksara lengkap dengan gramatikalnya, sarjana-sarjana matematika yang pernah menciptakan kalender yang pernah digunakan di beberapa negara di belahan dunia, sarjana-sarjana arsitektur yang pernah menciptakan ribuan candi dan konstruksi bangunan yang anti gempa. Kemana semua para sarjana, para magister, para doktor dan sekalipun profesor bangsa Indonesia hari ini? ada jutaan wisudawan setiap tahun di Indonesia, tapi Romo Agus bertanya, karya apa yg diciptakan oleh mereka hari ini? Yang ada hanyalah menciptakan pengangguran-penganguran terdidik. Pendidikan Indonesia terlalu bercermin kepada pendidikan luar negeri tanpa menyesuaikan dengan keadaan masyarakat lokal, padahal seharusnya sistem pendidikan berorientasi untuk kesejahteraan masyarakat, dan tidak menumbuh kembangkan kaum kapitalisme.

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar